Minggu lalu, saat tugas ke Banda Aceh, saya sempat berkeliling kota. Saat ini kota Banda Aceh kelihatan lebih ramai, lebih banyak kegiatan, banyak LSM, banyak bule. Meski ramai, pikiran saya tetap teringat akan kejadian tsunami Minggu, 26 Desember 2004, 4 tahun lalu. Hari ke-3 setelah tsunami, saya dan beberapa rekan sudah sampai di Banda Aceh, via darat. Saat itulah saya menyaksikan segala hal yang tidak akan pernah saya lupakan. Mayat-mayat berserakan di jalan-jalan, semua terlihat menghitam dengan goresan luka-luka besar di sekujur tubuh, mungkin akibat gulungan lumpur tsunami yang berisi sampah-sampah tajam. Mayat-mayat lain tergolek di tepi jalan, berbaur dengan sampah-sampah bekas rumah-rumah kayu yang terbawa arus tsunami, ada yang masih mengenakan sarung, terikat pada sebatang kayu disampingnya. Posko-posko penuh mayat. Harta benda sudah tidak terpikir lagi, sedan Jaguar teronggok penuh lumpur di tengah jalan. Teringat juga akan seorang ibu yang lusuh dan kotor, mungkin bekas terkena lumpur tsunami, berjalan di tengah jalan Daud Beureueh, dengan pandangan kosong, membawa makanan, mondar-mandir..., mungkin ia sedang mencari anaknya yang hilang. Di tepi jalan, seorang bapak bersepeda menangis sedih, entah menangisi siapa, mungkin ia kehilangan istri atau anaknya. Sedih luar biasa saat teringat akan lapangan Blang Padang, lapangan ini diisi ratusan orang yang sedang bergembira dan bersenam pagi, saat di mana lumpur tsunami dengan sampah-sampah rumah dan mayat datang menggulung.
Saat berkeliling kota minggu lalu, saya merasakan sesuatu yang hilang dari kota ini, saya kehilangan Banda Aceh yang Islami, saya kehilangan Islam di Tanah Rencong ini. Saya sungguh khawatir, jangan-jangan kota ini tengah mengundang azab yang lain.
Minggu, 04 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar