Rabu, 03 Maret 2010

Mas Budiana

Lepas shalat Isya di masjid Cut Mutiah Jakarta Pusat, saya bertemu seorang jemaah bertubuh kecil dengan gigi seri depan yang sudah tanggal, namanya Budiana. Lelaki itu membawa tas yang katanya berisi pakaian selama di Jakarta. "Saya sudah satu minggu di Jakarta mas, badan saya nderedek, mungkin karena hari ini belum makan..". Saya mengajak beliau duduk di bangku panjang milik pedagang di sekitar pagar masjid. Sambil mengisi perut dengan makanan khas Jakarta "Ketoprak", kami ngobrol tentang banyak hal. Saya yang lebih banyak bertanya, kampung asal, keluarga, kenapa bisa sampai ke Jakarta dan banyak pertanyaan lainnya.

Mas Budiana berasal dari desa Nggetasan, perjalanan sekitar 2 jam dari Solo, desa kecil dengan penduduk sekitar 20 kepala keluarga. Beliau berangkat sendiri ke Jakarta untuk mengadu nasib karena ladang jagung di kampung saat itu terkena banjir. Bersama pendatang-pendatang lain beliau 'menginap' di stasiun kereta Gondangdia sambil berharap pekerjaan dari mandor-mandor bangunan yang sering mencari tenaga kerja lepas di sekitar stasiun. Dan sampai malam itu belum ada satu mandor bangunanpun yang tertarik mempekerjakannya. Dan akhirnya ia ingin pulang ke kampung...

Menurut mas Budi, makanan pokok dikampungnya adalah jagung. Beras sulit ditemukan di kampung, kalaupun ada pada saat-saat tertentu saja, biasanya beras raskin ada saat bulan Ramadhan. Saya tanyakan bagaimana dengan makan keluarga sehari-hari yang sudah seminggu ditinggalkan. Menurutnya masih ada jagung kering yang disimpan sisa hasil panen sebelumnya. Beliau bercerita bagaimana proses penyimpanan jagung agar dapat bertahan lama, dari mulai memanennya sampai mengeringkannya dengan bara api. Saya tanyakan bagaimana proses mengubah jagung yang sudah kering agar dapat di makan. Di luar dugaan saya, beliau menjelaskannya secara rinci, dari mulai merendam kembali jagung selama 3 hari, menumbuknya, merendamnya kembali, menghaluskannya sampai dengan mengukusnya hingga akhirnya menjadi 'nasi' yang siap untuk di makan.

Hampir dua jam bercerita panjang lebar, akhirnya kami harus berpisah. Saya memberi beliau ongkos pulang esok paginya ditambah sedikit untuk keperluan keluarga andai tanaman jagung musim ini kurang berhasil.

Selamat jalan mas Budi, semoga ALLAH SWT mempertemukan kita kembali kelak di tempat yang lebih baik. Insya Allah. Assalamu'alaykum..

4 komentar:

fizzicoholic mengatakan...

wah menggugah neh pengalaman cerita nya moga mas budiana kedepan nya kehidupan nya bisa lebih baik lagi amien....

agorsiloku mengatakan...

Subhanallah, kisah yang sederhana dan menyentuh. Tanpa cukup pendidikan dan pengetahuan tentang desa tertinggal. Sedikit pilihan yang ada di desa kah? yang boleh jadi, membutuhkan dukungan dari sumber lain... ataukah desa yang begitu gersangnya sehingga hanya jagung yang bisa tumbuh?....

Anonim mengatakan...

aku tersentuh mas,,,rakyat seperti mas budi dan masih lagi yang lain adalah korban dari kurang pemerataan dari pemerintah

Unknown mengatakan...

betapa menyedihkan... ternyata masih ada saudara kita yg makan nasi jagung.... tersentuhkan hati kita??? sementara kita masih bisa pilih2 makanan mana yang kita suka... :)